Find Exactly Meaning in Your Life (3)

Kisah Sebelumnya .....

It's Tuesday now....

Entah mengapa hari ini saya menemukan  buku "Tuesdays With Morrie" diruang tamu kami. Buku yang diselipkan oleh suami saya dalam hantaran lamaran saat dia meminang saya. Ada dua buku yang dia berikan di hari bahagia itu, Toto Chan dan Tuesdays with Morrie. Saya membuka kembali lembar kisah Morrie dalam menghadapi hidup dan sakitnya.

Awalnya saya tak begitu paham tujuan buku ini dijadikan hantaran lamaran. Apa karena saya hobi membaca, maka ini menjadi hantaran? saya memang suka membaca, dan isi kedua buku ini menarik. Satu tentang anak, satu lagi kehidupan seseorang bernama Morrie.

Setelah berjalan waktu dalam kami berumah tangga, saya mulai paham maksud dari kisah Morie dan Toto Chan. Apalagi dengan kisah yang ada dibawah ini.

"Assalamualaikum Tas..... hari ini bisa lunch bareng gak?", sebuah pesan muncul di layar telpon gengam saya.

Ei..ei...ei... siapa nih. Loh... kok Ryan ngajak makan siang ya? Emangnya, anak ini sekarang ada di Jogja?

"Wa'alaikumsalam, Hei...hei... loh kok lunch? emangnya lagi di jogja ya", jawabku.

"Iya Tas, tapi gak lama hanya sehari ini saja, pengen ketemu kamu saja. Bisa kah?", balasnya.

"hmm ke jogja hanya mau bertemu saya? What de maksud ya? ada apa ya....", gumanku bertanya dalam hati.

"Tas, gimana......? Kalau tidak bisa, gue mo langsung beli tiket balik nih", tanyanya lagi.

"Hah, mo langsung beli tiket balik? Berarti memang benar, dia hanya ke jogja untuk bertemu saya", tanyaku  dalam hati.

"Oke yan, tapi tidak bisa lunch. After office hour ya", jawabku.

"Oke, kopdar di sheraton aja ya Tas, biar dekat buat gue kalau mo balik lagi ke jakarta", tanyanya lagi.

"Emang masih bisa terkejar beli tiket balik ya?", tanyaku.

"Masih ada. Gue tadi sudah cek flight terakhir dari sini ke jakarta jam 8pm", jawabnya.

Hari ini saya menjadi tidak konsen bekerja. Saat rapat direksi pun beberapa kali saya melihat jam, memastikan saya bisa segera bergegas bertemu Ryan.

Rapat selesai.

Tak sempat mengecek dan merapikan berkas diatas meja kerja,  saya hanya mengambil tas kerja berisi laptop dan segera meluncur ke Sheraton Mustika.

"Saya dah on the way kesana. Nanti ketemu dimana?"

"Langsung ke resto saja ya, saya sudah didalam", balasnya.

Bergegas saya menuju resto tempat ini. Ahhh... sudah lama saya tidak masuk kesini. Biasanya setiap ada tamu dari kantor, saya menjadi liaison officer untuk tamu perusahaan. Sejak gempa yang mengguncang kota Yogyakarta bulan mei tahun 2006, penampakan hotel ini berubah total. Hampir saya tidak mengenali lagi ornamen yang dulu ada, kecuali pemandangan gunung merapi yang masih bisa terlihat dari sisi utara restonya. Sudut ini menjadi favorit saya setiap ada tamu asing yang mampir ke perusahaan saya tempat bekerja dulu.

Tampak Ryan duduk di area itu, mengenakan baju berwarna hitam, dengan make-up yang natural. Dia memakai kacamata Ray-Ban polarizednya dengan model aviation. Duduk menghadap merapi dan mengenggam hape dengan kedua tangannya..

"Ah, tampaknya Ryan tak menyadari saya sudah sampai di restauran.
Assalamu'alaikum Yan, maaf telat banget. Jadwal rapat hari ini rupanya padat", sapaku membuyarkan lamunannya.

"Wa'alaikum salam Tas...", sambil dia meraih tanganku dan bercipika-cipiki.

Tercium aroma parfum Flowernya Kenzo , my fave aroma...

"Silahkan duduk Tas......".

"Suprised me Yan, kamu tiba-tiba nongol dikota ini tanpa berita sebelumnya. Ada apa Sai?", tanyaku tanpa basa-basi.

"I'm divorced, Tas.....".

"Whatttt.....?? How come?" , pekikku dengan nada  tidak percaya.

Sulit mempercayainya, karena kurang dari 3 bulan lalu saat kami bertemu, tidak ada kesan sedikitpun bahwa dia sedang menghadapi perceraiannya.

"Iya Tas, it's my destiny. And I try to accept it now. Ini berawal dari........ "

Mulailah dia mengalir menceritakan kondisi yang dihadapinya. Bagaimana dia menjelaskan ke anak-anaknya, keluarga besarnya akan keputusan yang dia dan suaminya ambil untuk kepentingan mereka.
Kisah yang hanya saya bisa lihat dalam sebuah film drama keluarga, kini dialami oleh teman saya sendiri. Dan dia menceritakannya begitu gamblang.

Dan saya?

Beberapa kali saya harus merangkulnya untuk menjadi sandaran ketika dia sudah tidak bisa menahan air matanya.

Lebih banyak mendengar.

Tak bisa memberikan komentar apapun. Saya tak ahli dibidang ini. Kisah Ryan yang sudah terjadi lebih dari 15 tahun itu dirangkum dalam beberapa jam. Ketika kacamatanya dia buka, tampak mata panda yang seperti melepaskan beban yang begitu berat. Terkadang mata saya ikut berkaca-kaca, seolah larut dalam alur kisah kehidupannya. Apa yang tampak diluar, ternyata bisa berbeda didalam.
Padahal, menurut hitungan teori didalam buku, seharusnya Ryan dan keluarganya dalam puncak-puncak kebahagiaannya. Segala materi lengkap. Super lengkap. Anak-anak cerdas, sehat dan manis.
Suami terlihat bertanggung jawab dan memiliki kedudukan dipublik cukup baik.  Tapi ternyata justru inilah ujian buat Ryan dan keluarganya.

"Ryan... Tut mir leid, wenn ich nur zuhöre", kataku lirih.

Tak terasa waktu hampir tiga jam kami habiskan di resto ini. Dan dia tak henti-hentinya mengeluarkan tisu untuk menyeka tetes air mata yang keluar.

"Ryan, it's almost 7.30pm now, your flight..... ?", belum selesai saya berkata dia sudah memotongnya

"It's okay Tas, I can back to Jakarta in early tomorrow morning..".

Dia lalu mengangkat teleponnya, menghubungi seseorang dan memintanya mengatur jadwal kepulangan dia besok.

"Tas,  sampai jam berapa kamu bisa menemani saya disini?", tanyanya.

Saya malah bingung ditanya seperti ini. Meninggalkan Ryan dengan kondisi ini kok saya menjadi tega. Tapi bagaimana ya, anak dan suami dirumah juga tahunya saya ketemu sebentar saja.

"Sebentar ya Yan, saya telepon suami dulu. Soalnya jam segini, Zee pasti mencari saya", jawabku.

Saya  bergeser sejenak untuk menanyakan izin suami apa boleh pulang lebih malam atau tidak.

"Ryan, maaf sekali.... Saya hanya bisa sampai jam 8 malam saja. Ada tanggung jawab lain dirumah yang harus saya selesaikan".

Ryan tersenyum, "It's okay Tas. It's more than enough... By the way,  dari tadi kamu hanya minum air putih. Mo makan apa? cemilan atau nasi ?".

"Makasih Yan, minum sudah cukup. Paling saya ambil buah potong dulu ya....".

Ryan pun melanjutkan kisahnya.

Tiba-tiba alarm saya berbunyi. 5 menit lagi jam 8 malam. Saatnya saya mengakhir pertemuan ini.

"Yan, sorry, saatnya saya harus pulang, besok pagi saya akan telpon ya. Malam ini kamu istirahat lah. Kamu terlihat letih sekali", kataku.

"Thanks Tas.... makasih sudah menyediakan waktu untuk mendengarkanku".

"By the way, saya boleh tanya sesuatu kah?", tanyaku pada Ryan.

"Boleh, mo tanya apa Tas?"

"Why Me?"

Mengapa saya yang kamu pilih untuk mendengarkan kisah ini Ryan.

"Dont ask me Tas. Ask Allah... Mengapa dia yang membuat pertemuan kita di lebaran kemarin. 2 kali saya bertemu kamu dan keluargamu, seolah-olah Allah ingin mengajarkan saya tentang sesuatu melalui keluargamu. I dont know Tas... mungkin kamu tidak merekam setiap ujaran yang kau sampaikan. Tapi saya merekamnya Tas. And what you said , it's true."

"My sayings? Duh... yang mana ya ?" .
Kok saya tidak bisa mengingatnya di poin mana saya meletakkan kalimat makna hidup. Rasanya pertemuan kemarin mengalir begitu saja selayaknya dua kawan lama yang terpisahkan bertemu kembali.

"Alhamdulillah Yan, bila kamu bisa menemukan ilmu-Nya saat pertemuan kemarin. Maaf saya tak bisa banyak bicara kali ini seperti pertemuan yang lalu", tawaku mencoba meramaikan suasana.

"Yes Tas, Allah through you, guide me how to find exactly meanings in my life".

Kami pun berpelukan.

Kali ini rasa yang berbeda. Bukan seperti teletubbies, tapi seperti saudara kandung yang saling menguatkan dalam menghadapi masalah hidup.

"Okay Yan, take care ya.... telpon gue kalau mendadak galau lagi ", gurauku.

Tuesdays with Morrie yang dibuat oleh Mitch Albom ini menginspirasi kisah hari ini yang saya dengar tentang Ryan dan kehidupannya. Dan saya menjadi belajar 'hidup' dari kisah ini.

S.E.L.E.S.A.I



0 comments:

Post a Comment