Menginjakkan kaki di tanah jawa, tempat yang pertama kali saya diami adalah dataran parahyangan, yang konon kata parahyangan berarti "tempat tinggal para hyang (dewa)". Hmm... Bisa jadi sih hyang disini bila diartikan paras para mojang priangan ini garageulis (cantik) apalagi jajaka nya. Fiuh... kararasep (guanteng). Mengapa saya bilang seperti itu, karena karakter wajah mereka jarang saya temui ditanah sulawesi membuat bentuk paras seperti ini terlihat "menarik".
Di kota Bandung juga saya lebih mengenal keberagaman suku-suku yang ada di Indonesia, dari Sabang hingga Merauke pertemanan lengkap. Saat selesai lulus kuliah, saya hijrah ke kota Yogyakarta, pertemanan saya banyak di dominasi penduduk suku Jawa. Bila di Bandung pertemanan saya lebih luas dari ragam suku, tapi tidak ketika saya ada di Yogya. Mungkin ini kali ya yang menyebabkan saya mendapatkan jodoh peluangnya lebih besar suku jawa. 😁
Awal hijrah, saya mengenal salah satu budaya disini yang cukup menarik yaitu "ewuh pekewuh". Awalnya saya kurang paham maksud mengapa budaya ini cukup melekat untuk orang di Yogya tapi setelah mendapat penjelasan ternyata budaya ini tentang menjaga nilai-nilai kesopanan, baik dalam tingkah laku ataupun perkataan. Menurut saya, keren sekali. Ini seperti budi pekerti kali ya, kalau dikonversi ke pelajaran sekolah jaman now.
Namun makin kesini kok kata ewuh pekeweuh ini maknanya seperti tergerus ya. Saya terkadang melihat artinya ditafsirkan sebagai 'rasa sungkan', keengganan untuk konflik atau menyinggung perasaan seseorang. Ntah alasannya karena si 'seseorang' ini secara strata sosial lebih tinggi dari yang 'enggan' atau karena dia terikat hutang piutang atau hutang budi😁. Sayang sekali rasanya, budaya ewuh pekewuh ini menjadi kerdil maknanya oleh warga dari suku jawa sendiri. Atau pendalaman tentang nilai-nilai budaya ini di dunia pendidikan tidak didalami seperti generasi X atau generasi Y ya?
Akuk pernah punya pengalaman tentang ungkapan kata ini, ketika "kesungkanan" ini terjadi pada saya akibat seseorang sungkan menyampaikan kendalam dalam suatu kejadian, akibatnya kejadian ini harus 'parah' dulu baru aku bisa mengetahui bahwa ada masalah yang terjadi diawal, dan sebenarnya bisa dicegah bila saya terinformasi lebih awal.
Dan ini semuanya ini ketika saya tanyakan mengapa tidak disampaikan sebelum kita sampai ke titik A, ternyata karena perasaan si "ewuh pekewuh" yang dirasakan kawanku. Ya Allah ....... 😭
Belajar dari pengalaman itu, setiap saya sedang melakukan kegiatan bersama dengan seseorang selalu kusampaikan, "Maaf ya mas / mba, bila ada sesuatu yang mengganjal dan ingin diutarakan, mohon langsung disampaikan nggeh. Jangan ditunda." 💚
0 comments:
Post a Comment